Latar belakang
Nilai-nilai, keyakinan dan filosofi individu memainkan peranan penting pada pengambilan keputusan etik yang menjadi bagian tugas rutin perawat. Peran perawat ditantang ketika harus berhadapan dengan masalah dilema etik, untuk memutuskan mana yang benar dan salah; apa yang dilakukannya jika tak ada jawaban benar atau salah; dan apa yang dilakukan jika semua solusi tampak salah.
Dilema etik dapat bersifat personal ataupun profesional. Dilema sulit dipecahkan bila memerlukan pemilihan keputusan tepat diantara dua atau lebih prinsip etis. Penetapan keputusan terhadap satu pilihan, dan harus membuang yang lain menjadi sulit karena keduanya sama-sama memiliki kebaikan dan keburukan apalagi jika tak satupun keputusan memenuhi semua kriteria. Berhadapan dengan dilema etis bertambah pelik dengan adanya dampak emosional seperti rasa marah, frustrasi, dan takut saat proses pengambilan keputusan rasional.
Pada pasien dengan kasus-kasus terminal sering ditemui dilema etik, misalnya kematian batang otak, penyakit terminal misalnya gagal ginjal. Pada tulisan ini akan dibahas mengenai dilema etik pada kasus pasien seperti yang dicakup dalam permasalahn dibawah ini, sehingga dapat sedikit menambah wawasan/pengetahuan tentang dilema etik dan hukumnya.
1. Berkata jujur
Dalam konteks berkata jujur ada suatu istilah yang disebut desepsi, yang berasal dari kata deceive yang berarti membuat orang percaya terhadap sesuatu hal yang tidak benar, menipu atau membohongi. Desepsi meliputi berkata bohong, mengingkari atau menolak, tidak memberi informasi, dan memberikan jawaban tidak sesuai sengan pertanyaan ata tidak memberikan penjelasan sewaktu informasi dibutuhkan.
Berkaa bohong merupakan tindakan desepsi yang paling dramatis karena dalam tindakan ini sesorang dituntut untuk memberikan sesuatu yang diyakini salah. Salah satu contoh desepsi adalah ketika pasien yang akan diinjeksi bertanya apakah sakit atau tidak, perawat memberi jawaban bohong agar pasien mau diinjeksi.
Secara etika tindakan desepsi ini tidak di benarkan. Para ahli etika menyatakan bahwa tindakan desepsi membutuhkan keputusan yang jelas tentang siapa yang diharapkan melakukan tindakan tersebut.
Sedangakan, konsep kejujuran (veracity) merupakan prinsip yang etis yang mendasari berkata jujur. Berkata jujur bersifat prima facie[1] sehingga desepsi pada keadaan tetentu diperbolehkan. Berbagai alasan yan dikemukakan dan mendukung posisi bahwa perawat harus berkata jujur yaitu:
1. Merupakan hal penting dalam BHSP perawat-pasien
2. Hak pasien untuk mengetahui
3. Merpakan kewajiban moral
4. Menghilankan cemas dan penderitaan
5. Meningkatkan kerjasama pasien / keluarga
6. Memenuhi kebutuhan perawat.
Alasan-alasan yang mendukung tindakan desepsi, termasuk berkatabohong meliputi:
1. Pasien tidak mungkin menerima kenyataan
2. Pasien menghendaki untuk tidak diberitahu bila hal tersebut menyakitkan
3. Secara profesiona perawa mempunyai tidak melakukan yang merugikan pasien
4. Dan desepsi mungkin mempunyai manfaat untuk meningkatkan kerjasama pasien (Freel; lih. CcCloskey dalam Priharjo,2006: 22).
Kasus:
1) Seorang perawat yang mendapati teman kerjanya menggunakan narkotika. Dalam posisi ini perawat tersebut berada pada pilihan apakah akan mengatakan hal ini secara terbuka atau diam karena diancam akan dibuka rahasia yang dimilikinya bila melaporkan hal itu pada orang lain.
2) Ibu Vivi masuk rumah sakit dengan sakit jantung. Suami ibu Vivi dan anak-anaknya ingin menjenguk dengan mengendarai mobil tetapi dalam perjalanan mengalami kecelakaan. Seorang anaknya meninggal dan suaminya mengalami luka ringan. Perawat yang merawat ibu Vivi mengetahui berita itu saat di UGD. Jawaban apa yang tepat diberikan oleh perawat bila ibu Vivi menanyakan tentang anaknya pada perawat tersebut, jawaban apakah yang paling tepat yang harus diberikan oleh perawat pada ibu tersebut ?
Analisa kasus:
1) sebagai seorang perawat yang profesional maka seharusnya yang dilakukan adalah memberikan nasihat keaad teman kerjanya untuk berhenti menggunakannya, tetapi jika teman tersebut tidak mau berhenti maka harus mekatakan secara terbuka, karena itu akan lebih baik dari pada membiarkan teman terseut tetap memakai narkotika.
2) Perawat memang harus mengatakan dengan uur kepada pasien untuk meningkatkan hubungan saling percaya antaraperawat denga pasien. Karena jika sekali saja pasien dibohongi makan ia tidak akan percaya kembali kepada perawat tersebut. Namun dalam kasus ini, maka perawat harus mempertimbangkan terlebih dahulu keadaan ibu Vivi apakah mampu untuk menerima berita buruk atau tidak, jika tidak maka berita tersebut harus ditunda penyampaiannya sampai ibu vivi siap.
2. AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome)
Pada tahun 1980/1981 AIDS awalnya ditemukan pada masyarakat gay di Amerika Serikat. Selain itujuga ditemukan di Afrika. Saat ini AIDS ditemukan hampir disetiap negara, termasuk indonesia.
Karena pada awalnya ditemukan pada masyarakat gay (homoseksual), maka kemudian muncul anggapan yang tidak tepat bahwa AIDS merupakan gay disease[2]. Pada kenyataannya AIDS juga mengenai biseksual, heteroseksual, kaum pengguna obat, dan prostitusi (forrester; lih. CcCloskey dalam Priharjo, 2006: 23).
AIDS tidak hanya menimbulkan dampak pada penatalaksanaan klinis tetapi juga dampak sosial, kekhawatiran masyarakat, serta permasalahan hukum dan etika. Karena sifat virus penyebab AIDS yaitu, HIV yang dapat menular pada orang lain, maka munculah suatu ketakutan masyarakat untuk berhubungan dengan penderita AIDS. Tragisnya, para penderita AIDS sering diperlakukan tidak adil dan didiskriminasikan. Perilaku diskriminasi ini tidak hanaya terjadi di masyarakat yang belum paham tentang AIDS tetapi juga terjadi di dalam masyarakat yang telah paham tentang penyakit tersebut, misalnya di Amerika Serikat. Situasi ini digambarka dengan jelas misalnya dalam film Philadelphia yang mengisahkan seorang gay, Andrew Beckett (diperankan oleh Tom Hanks), yang mengidap virus HIV yang mendapatkan perlakan diskriminasi dari tempat kerjanya maupun dari masyarakat.
Perawat yang bertanggunga jawab merawat pasien AIDS akan mengalami stres pribadi, termasuk takut tertular atau menularkan pada keluarganya, dan ledakan emosi bila merawat pasien AIDS pada fase terminal usia muda dengan gaya hidup yang bertentangan dengan gaya hidup perawat. Pernyataan profesional bagi perawat ang mempunyai tugas merawa pasien yang terinfeksi virus HIV membutuhkan klasifikasi nlai-nilai yang diyakini perawat tentang hubungan homoseksual dan penggunaan/ penyalahgunaan obat (Phipps, Long dalam Priharjo,2006: 23).
Perawat sangat berperan dalam perawatan pasien, sepanjang infeksi HIV masih ada dengan komplikasi sampai kematian tiba. Perawat terlibat dalam pembuat keputusan tentang tindakan atau terapi apa yang dapat dihentikan dan tetap menghargai matabat manusia. Pada saat ini tiak ada terapi medis lagi ang dapat diberikan pada pasien, perawat masih tetap melakukan tindakan yang dapat dberikan kepada pasien, seperti: mengidentifikasi nilai-nilai, menggali makna hidup pasien, memberikan rasa nyaman, memberi dukungan manusiawi dan membantu meninggal dunia dengan tentram dan damai (Phipps, long dalam Priharjo,2006: 23).
Di Indonesia, peningkatan kasus HIV/AIDS karena penyalahgunaan narkoba, khususnya dengan cara suntik, telah meningkat dengan tajam pada tahun 1999 (Ministry of Health Indonesia and The National AIDS Commission, 2002). Pada sekitar tahun 2000, di Indonesia terjadi perubahan yang sangat menyolok pada pola penularan HIV/AIDS, yaitu melalui penggunaan jarum suntik yang tidak steril secara bergantian pada kelompok Penasun.
Dalam menghadapi ancaman epidemi ganda HIV dan AIDS serta Napza tersebut, kita dihadapkan pada 2 (dua) aspek permasalahan yaitu hukum dan kesehatan. Dari perspektif hukum, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997, tentang Narkotika, Pasal 85, ayat (1), (2) dan (3), dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997, tentang Psikotropika, Pasal 59, ayat (1) dan (2), perbuatan menyalahgunakan napza tergolong perbuatan melanggar hukum. Sementara dari perspektif kesehatan, penderitaan dan akibat buruk yang dihadapi penasun karena penularan HIV dan AIDS dikalangan penasun, menimbulkan ancaman penularan kepada antar penasun, mitra, dan orang-orang bukan pengguna Napza merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius yang mengancam generasi muda.
Salah satu program yang telah dilaksanakan dalam rangka pengurangan dampak penularan HIV pada Penasun adalah Layanan Jarum dan Alat Suntik Steril (LJASS) atau dalam Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor: 567/Menkes/SK/VIII/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengurangan Dampak Buruk Narkotika, Psikotropika Dan Zat Adiktif (Napza) disebut dengan Program Penggunaan Jarum Suntik Steril (Pejasun). Program ini menyediakan dan memberikan peralatan suntik steril, beserta materi-materi pengurangan risiko lainnya, kepada Penasun, untuk memastikan bahwa setiap penyuntikan dilakukan dengan menggunakan jarum suntik baru(http://kikuzara.wordpress.com/2011/03/03/tinjauan-etik-keperawatan-pelaksanaan-program-ljass-pada-penasun/, diakses pada Minggu 16 oktober 2011, 19:40 WIB).
Jika ditinjau dari sudut etika, program LJASS ini menimbulkan dilema. Di satu sisi program ini terkesan melegalkan penggunaan narkoba suntik, bahkan memfasilitasinya. Namun di sisi lain program ini dianggap sebagai upaya memutus mata rantai penularan HIV pada Penasun yang aktif.
Dilema etik dapat bersifat personal ataupun profesional. Dilema sulit dipecahkan bila memerlukan pemilihan keputusan tepat diantara dua atau lebih prinsip etis. Penetapan keputusan terhadap satu pilihan, dan harus membuang yang lain menjadi sulit karena keduanya sama-sama memiliki kebaikan dan keburukan apalagi jika tak satupun keputusan memenuhi semua kriteria.
Ketika perawat sebagai komponen yang turut melaksanakan LJASS dihadapkan pada dilema ini, maka dibutuhkan wawasan luas dan analisis komprehensif dalam memberikan penilaian. Hal tersebut penting agar perawat tidak merasa bersalah melaksanakan program yang menurutnya tidak benar atau melanggar etika.
Kasus :
Dari program LJASS yang diadakan oleh pemerintah tersebut contoh kasus terdapat dilema etik yang dihadapi khususnya oleh perawat.
Pada studi kasus pelaksanaan Program LJASS di Puskesmas Tebet, salah satu komponen aktifnya adalah perawat. Perawat bisa terlibat sebagai koordinator atau tim pelaksana. Kemungkinan dilema etik yang dihadapi perawat yaitu:
Dilema dalam memandang program LJASS. Di satu sisi perilaku menggunakan Napza tidak dapat dibenarkan, namun di sisi lain perawat harus berperan serta memberikan jarum suntik dan kondom dalam rangka melaksanakan program Depkes yang diatur melalui Kepmenkes. Perawat ragu apakah memberikan jarum suntik dan kondom sesuai dengan prinsip etik berbuat baik (beneficience), dan tidak merugikan (nonmaleficience) atau malah memfasilitasi penyalahgunaan Napza yang berdampak merugikan klien. Namun dilema yang dihadapi bisa diredam dengan pemikiran bahwa program ini diprediksi berdampak positif yaitu mencegah penularan Napza pada Penasun aktif.
Analisa kasus:
Dari kasus diatas tentulah sebagai perawat harus menentukan keputusan, memang sewajarnya sebagai perawat harus mengikuti peraturan yang tela ditetapkan. Karena program LJASS tersebut adalah program pemerintah yang tentunya di tentukan dengan berbagai pertimbangan oleh karena itu tidak ada salahnya sebagai perawat mengikuti aturan tersebut. Dengan berpikiran positif maka dilema etik yang dihadapi perawat akan teratasi.
3. Fertilisasi Invitro, Inseminasi Artifisial, dan Pengontrolan Reproduksi
Fertilisasi invitro dan inseminasi artifisial merupakan dua dari berbagai metode baru yyang digunakan untuk mengontrol reproduksi. Kedua metode ini memberikan harapan bagi orang-orang mandul untuk dapat mempunyai anak (Olshanky, lih. McCloskey,)
Vertilisasi invitro merupakan metode konsepsi yang dilakukan dengan cara membuat by pass pada tuba fallopi wanita. Tindakan ini dilakukan dengan cara memberikan hiperstimulasi ovarium untuk mendapatkan beberapa sel telur atau volikel yang siap dibuahi. Sel-sel telur ini kemudian diambil melalui prosedur pembedahan. Proses pembuahan dilakukan dengan cara menaruh sel telur dalam tabung dan mencampurnya dengan sperma dari pasangan wanita yang bersangkutan atau dari donor. Seltelur yang sudah dibuahi kemudian mengalami serangkaian proses pembelahan sel sampai menjadi embrio dan kemudian embrio ini dipindahkan ke dalam uterus wanita dengan harapan dapat tejadi kehamilan.
Inseminasi artifisial merupakan prosedur untuk menimbulkan kehamilan, dengan cara mengumpulkan sperma dari seorang pria kemudian dimasukan kedlam vagina, serviks atau uterus wanita saat terjadi ovulasi. Tegnologi yang lebih baru pada inseminasi artifisial adalah dengan menggunakan ultrasound dan stimulasi ovarium sehingga ovulasi dapat diharapkan pada waktu yang tepat. Sperma dicuci dengan cairan tertentu untuk mengendalikan motilitasnya, kemudian dimasukan kedalam uterus wanita.
Berbagai masalah etika muncul berkaitan dengan tegnologi terrsebut. Masalah ini tidak saja dimiliki oleh parapasangan mandul, tim kesehatan yang menanganinya, tetapi juga oleh masyarakat. Berbagai pertanyaan diajukan menegnai apa sebenarnya hakikat/kemurnian hidup?. Kapan awal hidup manusia? Hakikat keuarga? Apakah pendodnor sel telur atau sperma bisa dikatakan sebagai bagian keluarga? Bagaimana bila tegnologi dilakukan pasangan lesbian atau homoseksual?.
Pendapat yang diajukan oleh para ahli cukup bervariasi. Pihak yang memberi dukungan menyatakan bahwa tegnologi tersebut pada bertujuan untuk memberi harapan atau membantu pasangan mandul mempunyai keturunan. Pihak yang menolak menyatakan bahwa tindakan tersebut tidak dibenarkan terutama bila sel telur atau sperma berasal dari donor. Beberapa pergerakan wanita menyatakan bahwa tindakan fertilisasi in vitro maupun inseminasi artifisial memperlakukan wanita secara tidak wajar dan hanya wanita kalangan atas yang mendapatkan tegnologitersebut karena biaya yang cukup tingi. Dala praktek ini sering pula hak-hak para wanita untuk “memilih” dilanggar (Olshanky,1990).
Tegnologi ni memang merupakan masalah yang kompleks dan cukup jelas dapat melanggar nilai-nilai masyarakat dan wanita, tetapi cukup memberikan harapan bagi pasangan infertil[3]. Untuk mengantisipasinya, diperlukan aturan atau undang-undang yang jelas. Perawat mempunyai peran penting terutama dalam memberikan konseling pada orang-orang yang menentukan akan melakukan tindakan tersebut. Penelitian keperawatan yang berkaitan dengan fertilisasi in vitro dan inseminasi artifisial menurut Oshanky (1990) meliputi aspek manusiawi dari penggunaan tegnologi reproduksi, respon manusia terhadap tegnologi canggih, konsekuensi tidak menerima tegnologi, pengalaman wanita yang berhasil hamil dari bantuan tegnologi, dan aspek terapeutik praktik keperawata pada orang yang memilih untuk melakukan tegnologi.
4. Abortus / aborsi
Aborsi telah menjadi salah satu perdebatan permasalahan etika internasional. Berbagai pendapat bermunculan, baik yang pro maupun yang kontra. Abortus secara umum dapat diartikan sebagai penghentian kehamilan secara spontan atau rekayasa. Pihak-pihak yang pro menyatakan bahwa aborsi adalah mengakhiri atau menghenikan kehamilan yang tidak diinginkan. Sedangkan pihak anti aborsi cenderung mengartikan aborsi sebagai membunuh manusia yang tidak bersalah.
Dalam membahas aborsi biasanya dilihat dari dua sudut pandangan, yaitu moral dan hukum. Secara umum ada tiga pandangan yang dapat dipakai dalam memberi tanggapan tehadap abortus : pandangan konservatis, moderat, dan liberal (Megan dalam Priharjo, 2006: 25).
Ø Pandangan Konservatif
Abortus secara moral jelas salah , dan dalam situasi apapun abortus tidak boleh dilakukan, termasuk dengan alasan penyelamatan, misalnya bila kehamilan dilanjutkan maka menyebabkan ibu meninggal dunia.
Ø Pandangan Moderat
Abortus hanya merupakan suatu prima facia kesalahan moral dan hambatan penentangan abortus dapat diabaikan dengan suatu pertimbangan moral yang kuat. Sebagai contoh abortus dapat dilakukan selama tahap pre-stience (sebelum fetus mempunyai kemampuan merasakan). Contoh lain, abortus dapat dilakukan bila kehamilan merupakan hasil pemerkosaan, atau kegagalan kontrasepsi.
Ø Pandangan Liberal
Pandangan liberal menyatakan bahwa abortus secara moral diperbolehkan atas dasar permintaan. Secara umum pandangan ini menganggap bahwa fetus belum menjadi manusia. Fetus hanyalah sekelompok sel-sel yang menempel di dinding rahim wanita. Menurut pandangan ini, secara genetik fetus dapat dianggap sebagai bakal manusia, tetapi secara moral fetus bukan manusia.
Adapun juga alasan yang dikemukakan, abortus sering menimbulkan konflik nilai bagi perawat, bila ia harus terlibat dalam tindakan abortus. Di beberapa negara, seperti Aerika Serikat, Inggris maupun Australia, dikenal suatu tatanan hukum Conscience Clauses, yang memeprbolehkan dokter, perawat atau rumah sakit untuk menolak membantu pelaksanaan abortus.
Di Indonesia tindakan abortus dilarang sejak tahun1918 menurut KUHP. Dalam pasal 346 sd. 349 KUHP dinyatakan bahwa: barang siapa melakukan sesuatu dengan sengaja yang menyebabkan keguguran atau matinya kandungan dapat dikenai penjara.
Aborsi terapeutik:
Aborsi terapeutik ialah aborsi yang diinduksi untuk menyelamatkan hidup atau kesehatan (fisik dan mental) seorang wanita hamil: kadang-kadang dilakukan sesudah pemerkosaan atau inses. Kalau kita berbicara secara lebih sempit, sebenarnya jenis aborsi ini tidak selalu tepat kalau dikatakan terapeutik. Terapi adalah pengobatan penyakit. Misalnya wanita yang mengandung dan punya penyakit jantung; kalau kehamilannya diteruskan sampai dengan kelahirannya akan sangat berbahaya baginya, maka kandungan itu harus dihentikan dengan melakukan aborsi. Tindakan aborsi ini sebenarnya tidak bisa disebut terapeutik sebab tindakan aborsi itu tidak dibuat dalam kerangka menyembuhkan penyakit. Dengan kata lain: dengan di lakukannya aborsi, penyakit jantungnya tidak tersembuhkan. Oleh karena itu dalam arti sempit, aborsi macam itu tidak bisa diartikan sebagai suatu terapi.
Jadi, tindakan itu bukanlah suatu intervensi medis terapeutis untuk menghilangkan suatu penyakit agar menjadi sehat tetapi suatu intervensi atas sesuatu yang sehat (janinnya) untuk menghindarkan ibunya dari suatu penyakit atau risiko kematian sedangkan penyakit si ibu sendiri justru tidak tersentuh. Dalam beberapa hal, lebih tepat dipakai istilah aborsi oleh karena adanya indikasi medis.
Kasus:
Seorang perawat yang sistem nilai pribadinya tidak mendukung aborsi, harus mulai mengembangkan hubungan saling percaya dengan gadis berumur 13 tahun yang masuk rumah sakit untuk aborsi legal. Gadis ini ambivalen tentang aborsi tersebut.
Perasaan ambivalen dan ketakutannya mengenai prosedur menimbulkan keinginannya untuk meminta perawat memberi dukungan padanya. Perawat sebagai seorang profesional perlu memberi dukungan karena klien bagaimanapun juga adalah seorang manusia. Perawat menentang aborsi dan merasa sulit untuk memberi dukungan sepenuhnya kepada gadis tersebut.
Analisa kasus:
Sesuai dengan contoh di atas bahwa perawat sangat dibutuhkan untuk membantu dalam pelaksanaan aborsi terapeutik pada klien, padahal perawat tersebut berkeyakinan bahwa aborsi merupakan tindakan yang berdosa. Pada kasus ini, perawat tersebut berhak untuk menolak tugas karena bertentangan dengan nilai pribadinya, dan ia dapat mengalihkan tugas tersebut pada perawat lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.
Selain itu, apabila para perawat menghadapi keadaan ketika klien tidak lagi responsif terhadap lingkungan, akan berupaya semaksimal mungkin untuk memperpanjang kehidupan seorang klien dengan menggunakan alat-alat, antara lain memberikan makanan cairan melalui sonde dan pemberian bantuan pernapasan melalui ventilator, alat pacu jantung, atau memberikan transfusi darah, walaupun menurut nilai pribadinya, hal tersebut sulit untuk dilakukan. Akan tetapi, bagaimanapun juga seorang perawat profesional harus berupaya semaksimal mungkin untuk menyelamatkan kehidupan kliennya, sedangkan mau berhasil ataupun tidaknya upaya tersebut, merupakan suatu kenyataan yang ada di luar kemampuannya.
5. Eutanasia
Pengertian:
Eutanasia merupakan maslah bioetik yang menjadi perdebatan utama terutama di dunia barat. Eutanasia berasal dari bahasa Yunani eu (berarti mudah, bahagia atau baik) dan thanatos (berarti meninggal dunia), jadi bila dipadukan berarti meningal dunia dengan baik atau bahagia. Menurut oxford english dictionary, eutanasia berarti tindakan untuk mempermudah mati dengan mdah dan tenang.
Dilihat dari aspek bioetis, eutanasia terdiri dari:
Ø Eutansia volunter
Pada kasus eutanasia volunter, pasien secara sukarela dan bebas memilih untuk meninggal dunia. Tindakan tersebut menyebabkan kematian dilakukan bukan atas dasar persetujuan dari pasien dan sering kali melanggar keinginan pasien.
Ø Pada eutanasia involunter
Merupakan tindakan yang menyebabkan kematian dilakukan bukan atas dasar persetujuan dari pasien dan sering kali melanggar keinginan pasien.
Ø Eutanasia aktif
Eutanasia aktif melibatkan sesuatu tindakan disengaja yang menyebabkan pasien meninggal, misalnya dengan menginjeksikan obat dosis letal. Eutanasia aktif merupakan tindakan yang melanggar hukum dan dinyatakan dlam KUHP pasal 338, 339, 345, dan 359.
Ø Eutanasia pasif
Merupakan eutanasia yang dilakukan dengan menhentikan pengobatan atau perawatan suportif yang mempertahankan hidup, misalnya antibiotika, nutrisi, cairan, respirator yang tidak diperlukan lagi oleh pasien. Eutanasia pasif sering disebut dengan eutanasia negatif, dapat dkerjakan sesuai dengan fatwa IDI.
Berbagai argumentasi telah diberikan oleh para ahli terhadap eutanasia, baik yag mendukung ataupun menolaknya. Untuk saat ini pertanyaan moral masyarakat yang perlu dijawab bukan: apakah eutanasia secara moral diperbolehkan, melainkan jenis eutanasia mana yang diperbolehkan?. Pada kondisi bagaimana? Dan metode yang tepat?.
Kasus:
Kasus pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Agian ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 2004, tidak dikabulkan. Dan akhirnya korban yang mengalami koma dan ganguan permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk dilakukan euthanasia, dan sebelum permohonan dikabulkan korban sembuh dari komanya dan dinyatakan sehat oleh dokter..
Analisa kasus:
Berdasarkan kasus diatas maka sangatlah jelas bahwa eutanasia itu tidaklah baik untuk dilakukan. Karena berbagai kemungkinan masih bisa terjadi, meskipun tidak diketahi waktunya.
6. Kloning
Dewasa ini, istilah kloning (Cloning) menjadi sangat populer . hal ini karena su berkenaan dengan kloning tidak lagi bersifat khas ilmu pengetahuan dan kedokteran, melainkan juga berkatan dengan etika, moral, bahkan agama. Ketiga hal yang disebutkan terakhir ini belakangan semakin sering memberikan respon dan tafsiran atas masalah kloning ini. Pembicaraan masalah ini bukan saja ramai dibicarakan diseminar dan konferensi, melainkan juga pemberitaan surat kabar dan televisi.
Makna kata kloning sebenarnya cukup sederhana, yaitu “ a clone of organism that genetically is identical to another”. Artinya, sebuah upaya penggandaan, peduplikasian organisme yang secara genetis sama atau identik satu sam lain”. Pendek kata kloning adalah sebuah proses pembiakan buatan. Dalam perkembangan ilmu dan tegnologi, makna kloning adalah,” the technique of producing a genetically identical duplicate of an organism by replacing the nucleus of an unfertilzed ovum with the nucleus of a body cell from the organism”. Artinya,” sebuah tknik memproduksi sebuah duplikat yang secara genetis sama dari sebuah organisme dengan menggantikan inti sel telur yang belum terbuahi dengan inti sel tubuh dari organisme tersebut” (Taher,2003: 66).
Adapun kloning manusia adalah teknik membuat keturunan dengan kode genetik yang sama dengan induknya yang berupa manusia. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengambil sel tubuh (sel somatik) dari tubuh manusia, kemudian diambilinti selnya (nukleusnya), dan selanjutnya ditanamkan pada sel telur (ovum) wanita yang telah dihilangkan inti selnya dengan suatu metode yang mirip dengan proses pembuahan atau inseminasi buatan.
Dengan metode semacam itu, kloning manusia dilaksanakan dengan cara mengambil inti sel dari tubuh seseorang, lalu dimasukkan ke dalam sel telur yang diambil dari seorang perempuan. Lalu dengan bantuan cairan kimiawi khusus dan kejutan arus listrik, inti sel digabungkan dengan sel telur. Setelah proses penggabungan ini terjadi, sel telur yang telah bercampur dengan inti sel tersebut ditransfer ke dalam rahim seorang perempuan, agar dapat memperbanyak diri, berkembang, berdiferensiasi, dan berubah menjadi janin sempurna. Setelah itu keturunan yang dihasilkan dapat dilahirkan secara alami. Keturunan ini akan berkode genetik sama dengan induknya, yakni orang yang menjadi sumber inti sel tubuh yang telah ditanamkan pada sel telur perempuan
(http://www.scribd.com/doc/16426970/Kloning-Dan-Bayi-Tabung, diakses pada minggu 16 0ctober 2011, 20.00 WIB).
Lalu bagaimana respon mayarakat dan agama terhadap maslah kloning ini? Hampir semua tokoh agama memberikan jawaban yang sama bahwa kloning harus diwaspadai. Semua agama berpendapat bahwa tknologi kloning akan menimbulkan “masalah serius dalam etika”.
Bentuk-bentuk kloning:
Ø Reproductive cloning
Ø Therapeutik cloning (Taher, 2003: 71)
Di indonesia Menteri Kesehatan telah melarang kloning diwilayah hukum indonesia, ermasuk therapeutik kloning.
7. Penghentian pemberian makanan, caran, dan Pengobatan
Makanan dan cairan merupakan kebutuhan dasar manusia. Memenuhi kebutuhan makanan dan minuman adalah tugas perawat. Selama perawatan seringkali perawat menghentikan pemberian makanan dan minuman, terutama bila pemberian tersebut justru membahayakan klien (misalnya, pada pra dan pasca operasi).
Masalah etika dapat muncul pada keadaan terjadi ketidakjelasan antara memberi atau menghentikan makanan dan minuman, serta ketidakpastian tentang hal yang lebih menguntungkan klien. Ikatan Perawat Amerika (ANA, 1988) menyatakan bahwa tindakan penghentian dan pemberian makan kepada klien oleh perawat secara hukum diperbolehkan, dengan mempertimbangkan tindakan ini menguntungkan klien (Kozier, Erb dalam Priharjo,2006: 28)
8. Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh
Definisi yuridis transplantasi dalam PP No 18 tahun 1981 pasal 1 huruf e adalah:
“Rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik”.
Definisi yuridis dari alat tubuh manusia dalam PP no 18 tahun 1981 pasal 1 huruf c adalah:
“Alat tubuh manusia adalah kumpulan jaringan-jaringan tubuh manusia yang dibentuk oleh beberapa jenis sel dan mempunyai bentuk serta faa tertentu untuk tubuh” (Shristiawan, 2003:27).
Pada saat ini dunia kedokteran di Indonesia telah memasuki teknologi yang lebih tinggi. Transplantasi organ yang dahulu hanya dilakukan di rumah sakit luar negeri, untuk saat ini telah dapat dilakukan di Indonesia (misalnya transplantasi kornea, ginjal, dan sumsum tulang).
Menurut Helsinki, tidak semua perawat terlibat dalam tindakan ini, namun dalam beberapa hal, perawat cukup berperan, seperti merawat dan meningkatkan kesehatan pemberi donor, membantu di kamar operasi, dan merawat klien setelah transplantasi (Megan, 1991).
Pengaturan tranplantasi organ dalam UU No 23 tahun1992 tentang kesehatan terdapat dalam pasal 33 dan 34. Kedua pasal tesebut berisi tentang ketentuan bahwa organ tubuh bukan merupakan obyek jual beli dan transplantasi organ hanya boleh dilakukan untuk pemulihan kesehatan. Pelaksanaan transplantasi organ di Indonesia diatur dalam peraturan pemerintah nomor 18 tahun 1981, tentang bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis/ transplantasi alat atau jaringan tubuh, merupakan pemindahan alat/ jaringan tubuh yang masih mempunyai daya hidup sehat untuk menggantikan alat/jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik. Tindakan transplantasi tidak menyalahi semua agama dan kepercayaan kepada Tuhan YME, asalkan penentuan saat mati dan penyelenggaraan jenazah terjamin dan tidak terjadi penyalahgunaan (Est Tansil, 1991)
Shristiawan dalam bukunya yang berjudul “Aspek Hukum Kesehatan dalam Upaya Medis Tranplantasi Organ Tubuh” menjelaskan bahwa, saat ini dikenal beberapa tranplantasi jantung yang diijikan yaitu sebagai berikut:
- Autografi
Yaitu pemindahan dari satu tempat ke tempat lain dalam tubuh itu sendiri.
- Allografi
Yaitu pemindahan dari satu tubuh ke tubuh lain yang sama spesiesnya.
- Isografi
.yaitu pemindahan dari tubuh satu ke tubuh lain yang identik.
- Xenografi
Yaitu pemindahan dari satu tubuh ke tubuh lainnya yang tidak sama spesiesnya
Persoalan kaitan antara hukum dan tranplantasi sebagai aplikasi dari tindakan medis, dapat dijelaskan bahwa hukum sebagai kaidah atau norma sosial tidak terlepas dari nilai-nilai yang terkandung dalam martabat manusia, esensinya hukuma adalah pencerminan dari konkritisasi nilai-nilai yang akan menyesuaikan dengan kondisi yang berubah (Hanafiah dalam Shistiawan, 2003:30).
9. Permasalahan etika keperawatan menurut Ellis Hartley (1980)
Penjelasan di atas telah menguraikan beberapa masalah bioetik. Pada bagian ini dijelaskan masalah etika keperawatan lebih khusus yang dapat ditemui dalam praktik keperawatan, sesuai yang diuraikan oleh Ellis, Hartley ( 1980), yaitu sebagai berikut:
a. Evaluasi diri
Evaluasi diri mempunyai hubungan erat dengan pengembangan karier, aspek hukum, dan pendidikan berkelanjutan. Evaluasi diri merupakan tanggung jawab etika bagi semua perawat. Dengan evaluasi diri, perawat dapat mengetahui kelemahan, kekurangan, dan juga kelebihannya sebagai perawat praktisi. Evaluasi diri merupakan salah satu cara melindungi klien dari pemberian perawatan yang buruk. Ellis dan Harley menyatakan bahwa evaluasi diri terkadang tidak mudah dilakukan oleh beberapa perawat. Berbagai cara dapat dipakai untuk melakukan evaluasi diri. Evaluasi diri sebaiknya dilakukan secara periodik. Perawat dapat berbesar hati apabila hasil evaluasi diri banyak menunjukkan spek positif atau erkembangan, namun tidak dianjurkan kecewa atau putus asa bila belum ada perkembangan. Perlu diingat bahwa evaluasi diri dilakukan agar perawat menjadi lebih kompeten dalam memberikan asuhan keperawatan.
b. Evaluasi kelompok
Tujuan evaluasi kelompok adalah untuk mempertahankan konsistensi kualitas asuhan keperawatan yang tinggi, yang merupakan tanggung jawab etis. Evaluasi kelompok dapat dilakukan secara informal maupun formal. Evaluasi kelompok informal dilakukan dengan cara saling mengamati perilaku sesama rekan, misalnya sewaktu melakukan perawatan luka (observasi dilakukan secara objektif). Kesalahan yang sering dilakukan dalam observasi adalah pengamat menggunakan perasaan pribadi sehingga orang yang dekat dinilai cenderung baik dan orang yang tidak disenangi cenderung dinilai tidak baik. Masalah etika muncul pada keadaan perawat mengamati rekan kerjanya yang berperilaku tidak sesuai standar.
Sebaiknya masukan diberikan secara langsung pada orang yang bersangkutan dengan perkataan yang halus sehingga tidak menyinggung perasaan, misalnya dengan mengatakan, “saya telah mengamati kejadian khusus ini dan menurut hemat saya, hal ini bukan merupakan sesuatu yang terbaik bagi klien… Bagaimana perasaanmu menghadapi hal ini ?” bila perawat pengamat lebih paham tentang situasi, barangkali ia akan mengatakan pendapat yang berbeda. Terkadang dengan cara memanggil dan menunjukkan tindakan yang salah kepada orang yang bersangkutan sudah dapat mengubah perilaku. Bila kejadian tersebut dilakukan lagi dilain waktu, perawat yang melakukan tindakan tersebut sebaiknya diberitahu tentang apa yang terjadi dan mengingatkan bahwa hal itu sudah dua kali terjadi. Bila pelaku menyangkal, sebaiknya hal itu dilanjutkan kepada pengawas atas sepengetahuan pelaku. Bila melihat suatu kejadian yang membahayakan klien, misalnya kesalahan dalam pemberian obat, setiap perawat yang melihat mempunyai tanggung awab etika dan hukum untuk melaporkan kejadian tersebut pada penyelia.
c. Tanggung jawab terhadap peralatan dan barang
Dalam bahasa Indonesia dikenal istilah “mengutil” yang berarti mencuri barang-barang sepele/kecil. Banyak orang menyatakan bahwa mengambil barang-barang kecil bukan mencuri.
Kasus:
Para tenaga kesehatan seringkali membawa pulang barang-barang kecil seperti pembalut, kapas, larutan antiseptik, dan lain-lain. Sebagian dari mereka tidak tahu apakah hal tersebut benar atau salah.
Analisa kasus:
Kita ketahui bahwa sebuah rumah sakit biasanya memperkaryakan ribuan petugas kesehatan. Bila kita perkirakan setiap karyawan mengutil, rumah sakit jelas akan rugi, dan akan lebih tragis lagi bila kerugian tersebut dibebankan pada klien. Perawat harus memberi penjelasan pada orang lain bahwa mengutil secara etis tidak dibenarkan karena setiap tenaga kesehatan mempunyai tanggung jawab terhadap peralatan dan barang di tempat kerja.
d. Merekomendasikan klien pada dokter
Klien maupun orang lain sering menemui perawat dan minta petunjuk tentang dokter umum atau dokter ahli mana yang baik dan dapat menangani penyakit yang diderita klien. Bila mengetahui informasi ini, perawat dapat memberikan informasi tentang beberapa alternatif.
Kasus:
Misalnya bila seorang klien ingin memeriksa ke dokter ahli kandungan, perawat dapat menyebutkan tiga nama dokter ahli kandungan dengan beberapa informasi penting, antara lain tentang keahlian dan pendekatan yang dipakai dokter kepada klien. Perawat menghadapi dilema bila klien menanyakan dokter yang menurut pendapat perawat tidak baik pelayanannya.
Analisa kasus:
Dalam hal ini, perawat secara hukum tidak boleh memberikan kritiknya tentang dokter kepda klien karena hal tersebut dapat dituntut oleh dokter yang bersangkutan.Bila klien tetap mendesak, perawat akan aman bila mengatakan, “secara pribadi saya tidak memilih dokter….sebagai dokter saya, saya lebih suka untuk memeriksakan diri kepada dokter …..”. bila klien meminta alasan, secara hokum lebih aman perawat mengatakan bahwa ia tidak ingin membicarakan hal tersebut. Apabila perawat tidak tahu kepada siapa sebaiknya klien dirujuk, sebaiknya tidak membuat keputusan.
Menghadapi asuhan keperawatan yang buruk
Keperawatan pada dasarnya ditujukan untuk membantu pencapaian kesejahteraan klien. Untuk dapat menilai pemenuhan kesejahteraan klien, perawat harus mampu mengenal/tanggap bila ada asuhan keperawatan yang buruk dan tidak bijak, supaya berupaya untuk mengubah keadaan tersebut. Ellois dan Harley (1980) menjelaskan beberapa tahap yang dapat dilakukan jika perawat menghadapi asuhan keperawatan yang buruk. Tahapnya adalah sebagai berikut:
Tahap pertama, mengumpulkan informasi yang lengkap dan sah, jangan membuat keputusan berdasarkan gosip, umpatan, atau dari satu sisi keadaan. Tahap kedua, mengetahui sistem kekuasaan dan tanggung jawab tempat kerja, baik yang formal maupun informal. Data ini penting untuk mengetahui siapa saja yang pembuat keputusan atau memiliki pengaruh terhadap terjadinya perubahan.
Tahap akhir, membawa masalah kepada pengawas terbawah. Namun, belum tentu masalah ini akan dihiraukan oleh pengawas. Kadang-kadang pendekatan awal lain dapat digunakan, misalnya secara sukarela menjadi anggota panitia yang bertugas sebagai penilai kelompok.
e. Masalah antara peran merawat dan mengobati
Berbagai teori telah menjelaskan bahwa peran perawat secara formal adalah memberikan asuhan keperawatan. Namun, karena berbagai faktor, peran ini seringkali menjadi kabur dengan peran mengobati. Masalah antara peran sebagai perawat yang memberikan asuhan keperawatan dan sebagai tenaga kesehatan yang melakukan pengobatan, bak dialami di Indonesia, terutama oleh para perawat puskesmas atau yang tinggal di daerah perifer. Perawat tidak melakukan apa yang secara formal diharapkan atau telah diajarkan kepada mereka. Ini menempatkan para perawat yang bertugas di daerah perifer, berada pada posisi sulit dan menimbulkan dampak negatif atas pelayanan kesehatan di daerah perifer. Para perawat dalam memberikan asuhan keperawatan, terutama dalam melaksanakan tugas delegatif, yaitu dalam pelayanan pengobatan, secara hukum tidak dilindungi.
Untuk mengatasi hal ini, perawat yang akan ditugaskan di unit pelayanan (antara lain di puskesmas, balai pengobatan) yang belum memiliki tenaga medis, perlu diberikan surat tugas serta uraian tugas yang jelas dari pimpinan unit. Ini merupakan aspek legal yang perlu dimiliki oleh para perawat yang ditugaskan di unit pelayanan yang tidak ada tenaga medisnya. Perawat dalam melaksanakan tugas memberikan obat kepada klien, merupakan tugas delegatif, sudah mendapat pendelegasian wewenang dari dokternya.
f. Masalah perawat dan sejawat
Seorang perawat dalam menghadapi masalah dengan sejawatnya, mungkin tahu atau mungkin tidak tahu tentang tindakan yang diambil.
Kasus:
Seorang perawat yang melihat perawat lain mencuri obat-obatan dari lemari obat unit keperawatan. Perawat yang ketahuan tersebut menangis dan menjelaskan bahwa ia perlu obat tidur agar dapat tidur sepanjang hari selama ketiga anaknya berada di rumah sepulang sekolah. Ia menggunakannya hanya pada hari –hari sebelum ia berangkat jaga malam. Ia adalah satu-satunya yang menopang anak-anaknya dan membutuhkan pekerjaan.
Pertanyaan : Apakah perawat melaporkan pencurian tersebut atau
mengabaikan masalah tersebut?
Analisa kasus:
Sebagai perawat yang profesional kita tetap harus melaporkannya, kita dapat membantunya denga memintakan keringanan hukuman. Karena bagaimanapun perbuatan tersebut aalah melanggar hukum.
g. Masalah perawat dan klien
Kasus:
Ners Ratna yang merawat Tn.P kebetulan sudah bekerja selama 10 tahun di bangsal B20 ini. Keluarga meminta Ners Ratna untuk tidak memberitahukan mengenai penyakit ini kepada pasien ataupun kepada para pembesuknya. Keluarga takut kalau pasien di beritahui keluarga, Tn.P akan frustasi, tidak bisa menerima kondisinya, dan akan dikucilkan oleh masyarakat. Ners Ratna mengalami dilema etik dimana di satu sisi dia harus memenuhi permintaan keluarga namun di sisi lain Ners Ratna harus memberitahukan kondisi yang dialami oleh Tn. P.
Analisa kasus:
Sebagai perawat kita harus tetap memberitahukan ke pasien, hanya saja kita harus menunggu waktu yang tepat, yatu sampai kondisi pasien siap untuk mendengar tentang penyakitnya.
KESIMPULAN
Dalam hubungan profesi sebagai perawat, dokter, dan klien, dapat muncul masalah kerahasiaan, konflik peran, masalah antar perawat sendiri, peran fungsi saling ketergantungan, dan persetujuan/perizinan. Masalah di atas tidak mungkin diselesaikan oleh perawat atau profesi keperawatan tersendiri karena menyangkut bidang pelayanan kesehatan yang khusus maka seharusnya diselesaikan oleh seluruh anggota tim pelayanan kesehatan, sedangkan profesi keperawatan dapat menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan perawat dan keperawatan.Tidak jarang dalam situasi nyata pelayanan kesehatan yang menyangkut semua profesi kesehatan, terjadi suatu masalah yang bersifat saling terkait dan perawat juga terlibat, dalam hal ini perawat harus berupaya terus menyelesaikan dengan menggunakan dasar pertimbangan filsafat moral dan etika keperawatan. Masalah bioetis melibatkan perawat dalam praktik keperawatan dan dalam hubungan perawat dengan yang lainnya. Masalah etismuncul hampir di semua bidang praktik keperawatan. Dengan berubahnya lingkup praktik keperawatan dan teknologi medis, terdapat peningkatan kejadian konflik nilai pribadi perawat dengan praktik. Di satu pihak, atasan mempunyai kebutuhan dan harapan untuk pelayanan dari perawat, di lain pihak, perawat mempunyai hak untuk diarahkan oleh nilai pribadinya.
DAFTAR PUSTAKA
Shristiawan, Rio. 2003. Aspek Hukum Kesehatan dalam Uapaya Medis Tranplantasi Organ Tubuh. Yogyakarta: Universitas Atma jaya.
Hanafiah, Jusuf. 1999. Etika Kesehatan dan Hukum Kesehatan. Jakarta: ECG.
Bertens, K. 2002. Aborsi Sebagai Masalah Etika. Jakarta: Grasindo.
Priharjo, Robert. 2006. Pengantar Etika Keperawatan. Cet.9. Yogyakarta: Kanisius.
Sumber Lain:
http://www.scribd.com/doc/16426970/Kloning-Dan-Bayi-Tabung, diakses pada minggu 16 0ctober 2011, 20.00 WIB.
http://kikuzara.wordpress.com/2011/03/03/tinjauan-etik-keperawatan-pelaksanaan-program-ljass-pada-penasun/, diakses pada Minggu 16 oktober 2011, 19:40 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar